Jumat, Agustus 07, 2009

Di Indonesia Raya, Nyawa murah tapi Berobat Moahal













Salah satu hal yang terpenting dari setiap aktivitas adalah sebuah kesehatan yang kita dapatkan setiap harinya dari Tuhan YME. Setiap kita bangun tanpa terasa kita seperti terbiasa untuk melupakan betapa pentingnya dan mahalnya harga yang kita terima. Berbeda ketika kita berada di rumah sakit. Setiap hari harus bertarung dengan rasa sakit dan bahkan kematian yang terus menghantui. Sementara kita yang masih sehat harus menunggu dengan rasa resah kapan hal ini dapat di selesaikan. Beberapa hari semenjak tanggal 23 Desember tahun lalu saya harus menginap di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta tepatnya di depan ruang ICU. Kami yang menunggu dengan hati cemas akan anggota keluarga kami harus di kagetkan oleh panggilan dokter atau suster. Hentakan panggilan di tengah malam bahkan membuat jantung berdebar debar besar atas apa yang akan di beritakan atau di minta oleh mereka.

Mulai dari hari libur Natal sampai Tahun Baru membuat kesedihan tersendiri dimana baru pertama dalam hidup menghadapi hal seperti ini. Tetapi dengan iman dan kepercayaan kepada Tuhan sajalah saya bisa melalui hal tersebut hingga hari ini. Rumah Sakit yang harusnya membantu memberikan penghiburan ternyata tidak memenuhi layanan seperti yang kita inginkan. Dengan kapasitas sebagai pelayan masyarakat ternyata rumah sakit di Indonesia tidak berbeda dengan perusahaan dengan target dalam pemikiran saya adalah profit. Mulai dari pengelola, suster sampai dokter tidaklah lebih dari sebuah lingkaran yang saling menutupi apa yang terjadi.

Mahalnya biaya obat, sewa ruangan sampai kepada administrasi yang lambat membuat saya berdecak kesal. Bagaimana tidak sebuah nyawa hanya di pandang sebagai sebuah objek yang bisa di ambil keuntungannya bahkan tanpa memberikan solusi yang jitu untuk menghadapinya. Rekan saya yang juga sedang menunggu anggota keluarganya harus kehilangan sebuah nyawa lantaran tidak sanggup lagi membayar biaya rumah sakit dan akhirnya harus mengeluarkan dari ruang ICU. Namun pihak rumah sakit seakan tidak ingin di persalahkan akan hal ini dengan memberikan surat pernyataan yang harus di tandatangani oleh pihak keluarga untuk setiap pertanggung jawaban atas anggota keluarga mereka yang ada di dalam.

Bisa di bayangkan apakah sebuah keluarga mau memaksa anggota keluarga mereka yang ada di Ruang ICU keluar jika tidak ada tekanan dari pihak Rumah Sakit ?. Paksaan seperti kondisi ekonomi serta keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan dan obat obatan di putar balikan fakta dengan sebuah surat pernyataan bahwa keluarga yang meminta untuk keluar dari ruangan ICU. Padahal sudah 7 hari dengan bayaran lebih dari 2,5 juta perhari (belum termasuk obat obatan) mereka telah bayarkan. Entah hal seperti ini bisa di adukan kemana itupun tidak ada berani memperjuangkannya.

Sebut lagi dengan metode SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu) surat yang menurut S.K dari Pemerintah ini hanya sebuah akal akalan yang terkadang memang tidak masuk akal. Bisa di bayangkan dengan surat tersebut kita memang mendapatkan potongan harga untuk biaya rumah sakit dan obat obatan. Tetapi coba lihat lebih dalam lagi, ketika kita melihat obat yang di berikan maka obat obatan dengan harga yang tinggi justru tidak termasuk dalam potongan harga tersebut dengan kata lain kita hanya di perbodoh oleh pihak rumah sakit. Padahal mengurus surat tersebut tidaklah hal yang mudah, harus ke RT/RW kemudian ke Lurah, Camat dan ke dinas kesehatan. Tentunya dengan kondisi masyarakat yang masih penuh dengan kolusi dan korupsi rakyat kecil justru tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan hal tersebut.

Undang undang memang jelas bahwa negara menjamin rakyatnya tetapi pelaksanaanya tidak mendapatkan jaminan dari pemerintah itu sendiri. Rumah Sakit sebagai ladang keuntungan bukan lagi sebagai organisasi pelayan masyarakat seakan tidak mau tahun dan cenderung untuk terus menyamaratakan setiap masyarakat. Mau tidak mau kita harus berpikir dan terpaksa melakukan tindakan untuk menghindari cekikan biaya rumah sakit tersebut. Mulai dari pembelian obat di luar apotik rumah sakit, atau melalui pribadi seorang dokter sampai kepada belajar mengerti akan manfaat obat dan mencoba beragumentasi dengan pihak dokter, suster dan pengelola rumah sakit.

Hal ini saya buktikan sendiri dan bahkan beberapa kali ketika kami melakukan debat dokter justru kebingungan menjawab, padahal apa yang saya dapat hanya dari bahan bahan yang saya kumpulkan di Internet. Seperti penggunaan albumin, ambuper sampai istilah penyakit yang justru akhirnya di sangka saya seorang yang punya keahlian di bidang itu. Sebuah fenomena “bodoh”nya masyarakat kita yang terpelajar bahkan dengan tingkat pendidikan tinggi sekalipun. Mungkin ini juga di sebabkan masih sedikitnya dokter yang mengerti tentang internet.

Namun bagi kita yang bisa mendapatkan kesempatan tersebut mungkin akan dapat di hargai oleh pihak rumah sakit, bagaimana dengan rakyat kecil yang hanya bisa berharap dan tidak mempunyai kesempatan pendidikan seperti kita ?. Hanya jalan pasrah yang bisa pihak rumah sakit berikan bahkan dengan sinis terkadang rumah sakit memandang pasien seperti ini adalah sebuah beban yang harus di hilangkan secara cepat dengan cara apapun juga. Oh Indonesia, tercoreng kembali wajahmu dan tersayat kembali tubuhmu oleh tangan dan dirimu sendiri.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

JAngan Heran Pemberi kebijakan dan Atasan Rumah sakit suatu saat akan kena azab dari tuhan mereka hanya memikirkan profit