Selasa, Agustus 25, 2009

Gubuk Penceng dan “20.000 Mil di Bawah Laut”

“Selamat tinggal, o Matahari!” Seru Kapten Nemo saat mencapai Kutub Selatan dan melihat matahari senja tanggal 21 Maret merayap mendekati horizon.

“Le lendemain, 22 mars, à six heures du matin, les préparatifs de départ furent commencés. Les dernières lueurs du crépuscule se fondaient dans la nuit. Le froid était vif. Les constellations resplendissaient avec une surprenante intensité. Au zénith brillait cette admirable Croix du Sud, l’étoile polaire des régions antarctiques.” –Jules Verne, Vingt Mille Lieues sous les mers: Deuxième partie, Chapitre XV, Accident ou incident ?
(Pagi berikutnya, 22 Maret, pukul enam pagi, persiapan untuk keberangkatan telah dimulai. Berkas senja terakhir meleleh bersama malam. Dingin begitu terasa. Rasi-rasi bintang bersinar terang mengagumkan. Di zenith bersinar Salib Selatan yang mengagumkan, bintang kutub di daerah antarktika. –Jules Verne, Dua Puluh Ribu Mil di Bawah Laut: Bagian Kedua, Bab 15, Kecelakaan atau insiden?)
Waktu kecil aku suka baca buku-buku Jules Verne. Favoritku tetap Keliling Dunia dalam 80 Hari, lebih karena sosok Phileas Fogg yang cool dan penuh perhitungan. Kalau dipikir-pikir hidupnya yang sangat teratur sangat membosankan dan snobbish, tapi petualangan yang dijalaninya selama 80 hari menarik sekali.

Kapten Nemo menatap cumi-cumi raksasa dari jendela kapalnya. Sebuah ilustrasi dari buku 20 000 Mil di Bawah Laut.
Dua Puluh Ribu Mil di Bawah Laut adalah satu lagi buah karya Jules Verne yang mengesankanku. Mungkin karena di tahun 80an, waktu pertama kali membaca buku tersebut, di TVRI diputar juga serial panorama bawah laut yang dibuat Jacques Yves Cousteau (penemu aqua-lung dan penjelajah bawah laut). Serial tersebut begitu mengesankanku dan penjelajahan Kapten Nemo dengan kapal Nautilus-nya yang berasal dari imajinasi Jules Verne seolah menjadi pelengkap realitas bawah laut yang diperlihatkan Cousteau. Anehnya, bagiku bagian paling mengesankan dari buku ini adalah pertemuan para protagonis (Ahli biologi kelautan Pierre Aronnax, pelayannya Conseil, dan penombak Ned Land) dengan Kapten Nemo. Para protagonis secara bergantian menceritakan kisah mereka dalam berbagai bahasa: Perancis, Inggris, Jerman, dan akhirnya Latin, namun Kapten Nemo dan awaknya mencueki mereka. Figur misterius Kapten Nemo juga memberikan kenangan tersendiri. Dalam bahasa Latin berarti, “nemo” artinya “tak seorang pun”. Dalam epos Homer, Odyssey, Odiseus sang Raja Ithaca berkata pada Polyphemos bahwa ia bernama “tak seorang pun,” sebagai bagian dari tipudayanya menghadapi raksasa bermata satu tersebut. Odisesus kemudian dikutuk Poseidon, dewa laut yang sekaligus bapaknya Polyphemos, untuk berkelana di lautan selama 10 tahun sebelum dapat mencapai tanah airnya, Ithaca. Kapten Nemo bisa jadi diberi nama demikian oleh Jules Verne sebagai sebuah metafora.
Waktu belum jadi mahasiswa astronomi, kutipan paragraf di atas tidak begitu menarik perhatianku. Waktu sedang melatih anak-anak SMP-SMA yang sedang belajar untuk persiapan Olimpiade Astronomi Internasional, paragraf di atas menarik perhatianku karena dibahas dalam buku kumpulan soal astronomi, Astronomical Problems, yang ditulis Boris Vorontsov-Velyaminov, astronom dari Uni Soviet (bukunya diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris).
Pada soal No. 1183, Vorontsov-Velyaminov menyajikan kutipan di atas dan mengajukan tiga pertanyaan:
1. Mungkinkah Salib Selatan berada di zenith, bila kita berada di Kutub Selatan?
2. Jika tidak, kalau begitu pada lintang berapakah Nautilus berada?
3. Apakah Salib Selatan nampak sebagai “bintang kutub di daerah antarktika” (“l’étoile polaire des régions antarctiques”)?
Jawabannya adalah (1) tidak, (2) sekitar 60 derajat Lintang Selatan, dan (3) tidak.
Vorontsov-Velyaminov rupanya ingin menyinggung kenyataan bahwa Jules Verne mencampuradukkan pengertian rasi/konstelasi dengan bintang–yang membentuk rasi. Rasi atau konstelasi adalah gambar-gambar yang dibentuk oleh astronom di jaman kuna dengan cara menarik garis-garis khayal di langit dari satu bintang ke bintang lain. Tentu saja gambar yang dibentuk terserah imajinasi para astronom, dan kebanyakan berasal dari mitologi-mitologi lokal (ataukah sebaliknya? Mitologi lokal berasal dari usaha astronom menjelaskan pergerakan benda langit?). Oleh karena itu, setiap kebudayaan memiliki rasi-rasinya masing-masing. Sekelompok bintang yang sama dapat diartikan berbeda oleh kebudayaan (bahkan individu) yang berbeda, sesuai dengan imajinasi masing-masing. Coba saja lihat dua gambar di bawah. Orang-orang Yunani dan Babylonia kuno membayangkan gambar di kiri sebagai seorang pemburu yang kemudian diberi nama “Orion” oleh orang-orang Yunani, dan jadilah tatanan bintang tersebut diberi nama “Rasi Orion.”
Coba hapus gambar kedua di kanan dari pikiran masing-masing dan lihat gambar di kiri, gambar apakah yang dapat kita bentuk?
Foto di sebelah kiri adalah bintang-bintang anggota konstelasi Orion, sebagaimana nampak di langit. Pada zaman dahulu, astronom-astronom kuna menarik garis di antara bintang-bintang dan membayangkan gambar pemburu (Gambar kanan). Gambar kanan adalah sebuah ilustrasi dari atlas bintang Uranometria yang disusun oleh Johannes Bayer, diterbitkan pada tahun 1603

Salib Selatan, atau Crux, adalah salah satu rasi yang tercipta dari penjelajahan bangsa Eropa dalam pencarian jalur menuju sumber rempah-rempah. Karena Bumi bulat, maka tidak semua porsi langit dapat terlihat dari suatu tempat manapun di Bumi. Kelengkungan Bumi itu sendiri yang menutupi sebagian porsi langit. Oleh karena itu, saat pertama kali menjelajahi Samudra, untuk pertama kalinya pelaut-pelaut Eropa melihat langit yang menaungi Bumi bagian selatan. Pemetaan langit selatan pun dilakukan, salah satunya oleh Frederick de Houtman. Frederick dan adiknya, Cornelis, bersama-sama menjadi orang-orang Belanda pertama yang mencapai kepulauan Indonesia. Bersama dengan astronom Pieter Keyzer, Frederick memetakan langit selatan dan menghasilkan katalog bintang yang kemudian dijadikan basis oleh Johannes Bayer dalam penyusunan atlas Uranometria. Dari sini terciptalah Crux atau Salib Selatan.

Peta rasi Salib Selatan. Sumber: IAU.
Ratusan tahun kemudian, di abad modern (tepatnya pada tahun 1930), Ikatan Astronomi Internasional (IAU) lalu mengadopsi 88 rasi yang kini kita kenali bersama-sama, bersama dengan batas-batas resminya. Salib Selatan adalah rasi dengan areal paling kecil, namun mengandung bintang-bintang yang paling terang di langit.
Kekeliruan Jules Verne di paragraf di atas adalah ia menulis Salib Selatan sebagai “bintang kutub daerah Antartika.” Kesalahannya ada dua: Pertama, Salib Selatan bukanlah bintang, melainkan rasi yaitu sekelompok bintang-bintang yang diimajinasikan membentuk gambar (dalam hal ini: Salib). Kesalahan kedua terkait dengan bintang kutub.

Bila kita memotret langit dalam jangka waktu yang lama, kita dapat melacak pergerakan bintang di langit. Bintang bergerak melingkar mengikuti gerak rotasi Bumi pada sumbunya. Namun, bintang Polaris tidak ikut bergerak karena posisinya berada persis di atas sumbu rotasi Bumi.
Bintang kutub adalah bintang yang posisinya persis di atas sumbu rotasi Bumi. Sebagaimana kita ketahui, Bumi berputar bagaikan gasing raksasa pada sebuah sumbu. Di permukaan Bumi, lokasi kedua sumbu ini berada di tempat yang kita namakan Kutub Utara dan Kutub Selatan. Bila kita berada persis di Kutub Utara dan melihat langit yang persis ada di atas kita, maka kita akan melihat sebuah bintang cukup terang yang diberi nama Polaris atau Bintang Utara. Karena lokasinya yang sangat spesial ini, para Pramuka di Bumi Belahan Utara diajari untuk dapat mengenali bintang dan rasi tempat bintang ini berada, agar mereka dapat menentukan arah bila tersesat. Karena rotasi Bumi inilah maka semua benda langit bagaikan bergerak dan dari waktu ke waktu berubah posisinya: terbit di Timur dan tenggelam di Barat. Namun, karena Polaris terletak persis di atas sumbu rotasi Bumi, maka bintang tersebut tidak bergerak dan diam di langit. Posisi spesial Polaris membuat Kong Hu-Cu menjadikannya contoh dalam sebuah perumpamaannya: “Jadilah pemimpin yang bijaksana, niscaya engkau akan seperti Bintang Utara: Ia diam di tempatnya sementara bintang-bintang lain memposisikan diri di sekitarnya.”
Bila di Langit Utara ada Bintang Kutub bernama Polaris, adakah Bintang Kutub di Langit Selatan? Ternyata ada juga, sebuah bintang bernama Sigma Octantis. Apabila kita mungkin pernah mendengar nama Polaris atau Bintang Utara, mengapa Sigma Octantis terasa asing di telinga? Hal ini karena Sigma Octantis adalah bintang redup yang hampir-hampir tak terlihat mata telanjang. Dalam terminologi astronomi, Sigma Octantis punya magnitudo 5.5 (ambang kemampuan mata adalah sekitar magnitudo 6), sementara Bintang Utara jauh lebih terang: magnitudonya 2. Artinya, Polaris 25 kali lebih terang daripada Sigma Octantis. Oleh karena itu, wajarlah apabila kita lebih mengenal Polaris daripada Sigma Octantis: tanpa alat, kita lebih mudah menemukan Polaris.
Sebagai gantinya, Pramuka di Langit Selatan umumnya diajari untuk dapat mengenali Crux atau Salib Selatan ini. Di negeri kita ini, Rasi Salib Selatan lebih dikenal sebagai Rasi Gubuk Penceng, karena imajinasi nenek moyang kita yang bangsa petani lebih cocok membayangkan kelompok bintang tersebut sebagai sebuah saung yang miring. Rasi ini tidak persis berada di sekitar Sigma Octantis, letaknya sekitar 30 derajat dari “Bintang Selatan” tersebut. Namun, sumbu terpanjang salib tersebut menunjuk ke arah Sigma Octantis. Oleh karena itu, apabila kita dapat menemukan rasi ini di langit dan menarik garis pada sumbu terpanjang salib tersebut, kita dapat menemukan arah selatan.
Apabila kita berada persis di Kutub Utara, maka Polaris akan berada tepat di atas kita. Apabila kita berada persis di Kutub Selatan, maka Sigma Octantis akan berada persis di atas kepala kita. Dalam narasi Jules Verne, dia menulis bahwa Salib Selatan berada di zenith, persis di atas kepala. Karena Salib Selatan letaknya sekitar 30 derajat dari Sigma Octantis, maka tidak mungkin Kapten Nemo bisa berada di Kutub Selatan apabila ia mengamati Salib Selatan berada persis di zenith. Dengan demikian jawaban pertanyaan nomor satu ada tidak. Kalau begitu, di manakah lokasi Kapten Nemo? Ya sekitar 30 derajat dari Kutub Selatan yang berlokasi di 90 derajat Lintang Selatan, yaitu pada Lintang 60 derajat Selatan.
Lagipula tidaklah mungkin Kapten Nemo dapat langsung mencapai Kutub Selatan dengan mengendarai Nautilus, karena Kutub Selatan berada di benua Antarktika. Untuk mencapai Kutub Selatan kita harus mendarat di suatu pantai di pinggir benua Antarktika lalu menggalang ekspedisi darat sebagaimana dilakukan Scott dan Amundsen. Berbeda dengan Kutub Selatan yang menyentuh permukaan Bumi di sebuah benua, Kutub Utara menyentuh Bumi di laut Arktika yang ditutupi es permanen. Oleh karena itu kita dapat mencapai Kutub Utara lewat jalur bawah air, sebagaimana dilakukan pertama kali oleh kapal selam nuklir pertama milik Amerika Serikat, USS Nautilus (SSN 571) pada tahun 1958. By the way, kapal selam nuklir tersebut dinamakan menurut nama kapal selam Kapten Nemo.
Catatan mengenai satuan: Lieue adalah satuan Perancis yang sama dengan 4 kilometer, jadi 20 000 Lieue adalah 80 000 km atau hampir 4 kali keliling Bumi. Oleh karena itu, yang dimaksud Jules Verne dengan 20 000 Lieue adalah jarak yang ditempuh Nautilus selama bepergian di bawah laut, bukan kedalaman.

Tidak ada komentar: